Aku masih ingat 19 tahun yang lalu saat aku menolak untuk dijodohkan dengan seorang lelaki yang umurnya terpaut 15 tahun diatasku. Sebut saja namanya Dadang.
"Bagaimana rasanya jika nanti aku harus tidur dengan laki-laki yang tidak aku cintai, Pa!"
Itulah kata-kataku yang sempat membuat mata Papa membelalak menatapku tajam. Aku tahu ucapanku itu mungkin sangat mengejutkan dan aku rasa tak pantas aku lontarkan. Tapi gimana lagi, gairah jiwa muda yang kala itu masih mendidih di benakku membuatku harus menolak perjodohan itu lantaran aku sendiri punya pilihan. Aku memiliki seorang kekasih yang sangat aku cintai, juga mencintaiku yang sudah terjalin hampir dua tahun.
Rasa gengsiku yang terlalu tinggi, takut dibilang nggak bisa mencari pasangan sendiri lah, anak manja lah, malu karena mendapatkan pasangan hasil jerih payah orang lain. Egoku "Aku juga bisa cari sendiri" "Aku juga nggak jelek-jelek amat" "Aku masih muda, belum mau menikah" "Aku masih ingin senang-senang dulu" "Aku punya pacar." Itulah sekelumit alasanku untuk menolak perjodohan itu.
Kini, diusiaku yang sudah terbilang cukup tua, memasuki usia 35 tahun, aku belum juga menemukan pasangan hidup yang tepat. Dua kali menikah, dua kali juga gagal. Banyak yang datang tapi semua hanya singgah sebentar dan kemudian pergi lagi. Tak jarang aku hanya jadi pelarian, permainan dan diberi harapan palsu.
Ntah kenapa, Budeku jauh-jauh datang ke Jakarta dari Pekanbaru mengabarkan bahwa mas Dadang meminangku lewat Budeku. Mas Dadang dari yang kudengar lewat Budeku, dia juga sudah menikah dan setelah 10 tahun ternyata mereka mengalami ketidak cocokan. Mas Dadang memutuskan bercerai dari istrinya.
Ada rasa bahagia dan haru mendengar berita itu, Ada rasa malu juga karena aku pernah menolaknya dulu. Rasa campur aduk berkecamuk dalam dadaku. Apalagi setelah mendengar Papa dan Mamaku dengan senang hati menerima lamaran itu.
Akhirnya pernikahanpun dilangsungkan dengan sangat sederhana. Tak sanggup aku memandang wajahnya yang kini sudah menjadi suamiku. Aku masih malu pada diriku sendiri. Tapi mas Dadang dengan tenang menghadapi kecanggunganku saat bersamanya. Dia sangat pandai mencairkan suasana sehingga lambat laun rasa gerogi dan malu pun memudar. Kini berubah menjadi rasa sayang. Tak ingin sedetikpun aku berpisah dengannya.
Perlakuannya yang lembut, penyayang, penyabar, pengertian dan jiwa ngemongnya yang kuat, membuatku semakin mencintainya. Kini tiada lagi keraguan dihatiku, selain keyakinan dan keikhlasan untuk taat padanya.
Oh Tuhan, andaikan aku merasakan ini dari dulu
Mungkin aku takkan mengalami kehancuran hingga dua kali.
Oh Tuhan, kau buat dari apa hatiku dulu
Sehingga tak mampu melihat semua kebahagiaan ini.
Terima kasih ya Allah...
Kau berikan aku kesempatan untuk mengecap kebahagiaan ini.
Meski di penghujung usiaku.
Maafkan aku Ayah atas kedurhakaanku dulu
Jika aku menurut dengan perkataanmu dulu
Mungkin sejak dulu telah terukir senyum di wajahmu
Mungkin aku takkan menyakitimu
Terima kasih Ayah...
Maafkan aku Ayah atas kedurhakaanku dulu
Jika aku menurut dengan perkataanmu dulu
Mungkin sejak dulu telah terukir senyum di wajahmu
Mungkin aku takkan menyakitimu
Terima kasih Ayah...
Ternyata Jodoh pilihan Ayah
Adalah Jodoh yang terbaik untukku.
Coretanpupu#
Comments
Post a Comment