Namaku Rifky, umurku 10 tahun, aku
bersekolah di salah satu sekolah swasta di kotaku. Aku tinggal bersama ibu,
kakek dan nenek. Di belakang rumahku ada sebuah sungai besar dan airnya jernih.
Masyarakat di sini masih ada yang mandi
dan mencuci di sungai meski sudah ada
PDAM. Teman-teman sebayaku juga banyak yg mandi sambil bermain di sungai. Hanya
ibuku saja yang selalu melarangku untuk tidak main di sungai. Takut hanyut
katanya, maklumlah aku adalah satu-satunya anak ibu. Sehari-hari ibu bekerja membantu nenek menjual makanan. Karena kakekku sudah tidak bekerja lagi dan sekarang lagi
sakit. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kami dibantu oleh paman, adik Ibuku.
Suatu
hari, ketika aku bermain ke rumah temanku Dani, aku melihat Dani sedang asyik
bermain mobil-mobilan dengan ayahnya. Mereka tertawa bahagia sekali.
Dani naik di atas mobil mainan itu dan
ayahnya mendorongnya berputar-putar mengelilingi pekarangan rumahnya sambil
tertawa. “seru sekali mereka bermain” pikirku.
Di sepanjang jalan pulang ke rumahku,
otakku berfikir “Apakah aku juga punya
ayah seperti Dani?, kalau memang ada,
siapa ayahku? Kemana ayahku? Dimana? Kenapa aku tidak pernah melihat
atau bertemu dengannya? Dan kenapa ibu tak pernah cerita padaku tentang
keberadaan ayah”. Hati kecilku bertanya-tanya sendiri.
Sesampai di rumah, aku melihat ibu
sedang memasak di dapur. Aku beranikan diri untuk langsung bertanya pada ibu.
“ibu, bolehkah aku menanyakan sesuatu?”. “eh,,, kamu sudah pulang ya, kok
tumben pulang-pulang langsung mencari ibu, ada apa sayang…? Kok mukamu tegang
gitu? Habis berantem ya dengan temanmu?.
Aku menggeleng, “terus kenapa ? apa yang
mau kamu tanyakan?” sambung ibu. “tapi ibu harus janji nanti jangan marah ya..”
pintaku memelas. “eh..eh.. memangnya ada apa sih? Kok sepertinya serius
sekali?’ jawab ibu sambil mengangkat gorengan dari wajan ke piring.
Aku mulai mengatur nafasku karena
jantungku mulai berdebar kencang dan semakin kencang. Aku gugup dan setelah
menghela nafas agak panjang, “bu, apakah aku punya ayah? Kalau ada, dimana dia?
Kenapa aku tak pernah melihatnya?” tanyaku. Kulihat mata ibu melotot dan
menatap ke arahku penuh selidik, aku takut ibu marah. Lalu ibu segera mematikan
kompor, memegang bahuku dan mengajakku untuk duduk di kursi.
Kulihat raut muka ibu mulai berubah
sedih, “Nak, ini adalah pertanyaan yang sering kamu ucapkan dulu sejak masih
kecil, dan ini adalah untuk kesekian kalinya kamu menanyakan ini lagi pada ibu”
lirih ibu sambil berjalan ke kamar, sepertinya ingin mengambil sesuatu.
Aku lupa dan tak ingat kalau sering
menanyakan ini pada ibu, maklumlah mungkin aku masih kecil dan daya ingatku
belum banyak.
Lalu ibu memperlihatkan sebuah foto
padaku, seorang laki-laki yang gagah,
tinggi, rambutnya hitam lurus, kulitnya hitam, memakai kacamata, dan wajahnya
dipenuhi kumis, jenggot dan jambang.
“Nak, kamu tentu punya ayah, dan itulah
fotonya, ayahmu pergi saat kamu masih di dalam perut ibu. Ayahmu pergi karena
harus pergi bekerja di luar daerah. Dan saat kamu lahir ayahmu datang dan
menggendongmu. Ayahmu sangat menyayangimu, ayahmu juga menggendong dan
menciummu. Meski dengan berat hati, ayahmu terpaksa meninggalkan kita dan ibu
tidak bisa menahannya. Ibu ingin ayahmu tetap tinggal dan bekerja disini tapi
ayahmu tetap memaksa pergi”.
Kupandangi foto ayah yang kupegang dari
tadi, “ganteng sekali ayahku, persis seperti aku yang sering dipanggil si
ganteng oleh guru dan teman-temanku” pikirku.
Lamunanku buyar saat kulihat ada tetesan
air di punggung tanganku, kulihat ternyata ibu menangis dan matanya
berkaca-kaca. Ibu melanjutkan “ibu sudah berusaha mencari keberadaan ayahmu.
Ibu juga sudah bertanya pada kakek dan nenek dari ayahmu, mereka bilang ayahmu
juga tidak ada disana. Ibu juga sudah menghubungi nomor handphone ayah tapi
sudah tidak aktiv lagi”.
“kenapa kamu Tanya soal ayah? Kamu
kangen ya…?” akupun mengangguk.
Lalu ibu memelukku dan mengusap-usap
kepalaku “sabar ya sayang, suatu saat nanti kamu pasti ketemu ayah, berdoalah
pada ALLAH SWT semoga suatu hari nanti kita dipertemukan kembali”. “Aamiin”
sambungku.
Hari demi hari terus berlalu, sejak
kejadian hari itu semakin besar rasa inginku untuk bertemu ayah.
Sepulang sekolah, aku dikejutkan suara
ibu yang memanggilku dengan suara agak keras sambil senyum sumringah tanda
kebahagiaan.
“sini sayang, coba lihat sini”. “ada apa bu?”
akupun berlari menghampiri ibu yang sedang duduk di depan komputer.
Ibu memperlihatkan sebuah nama yang
sudah tidak asing lagi bagiku, ya, ayahku add ibuku di akun facebook miliknya.
Permintaan pertemanan sudah lama dikirim oleh ibu dan ternyata baru mendapat
balasan hari ini.
Berkat doa dan usaha akhirnya Allah
mengabulkan doaku. Setelah saling bertanya kabar lewat pesan-pesan yang dikirim
ternyata ayah baik-baik saja dan sekarang sedang berada di Semarang.
Ternyata pekerjaan ayah yang tidak
menetap dan selalu berpindah-pindah membuat ayah tidak punya tempat tinggal
tetap.
Jemari ibu terus bergerak menekan mouse
mengarahkan kursor untuk membuka dan melihat profil ayah. Kulihat foto ayah
sedang memakai pakaian kerja di dekat sebuah kapal. Ternyata ayah bekerja di
salah satu pelabuhan kota Semarang.
Kulihat mata ibu kembali berkaca-kaca
sambil berkata “itulah ayahmu, akhirnya kamu ketemu ayah walau hanya di dunia
maya. Mudah-mudahan suatu hari nanti kamu bisa bertemu di dunia nyata”.
Keesokan harinya aku ingin chatting lagi
dengan ayah, dibantu ibu aku buka lagi akun ayah tapi ternyata ayah sedang
tidak online. Berkali-kali kucoba kirim pesan ke email ayah tapi tidak ada
satupun balasan dari ayah.
Berhari-hari kutunggu tetap tidak ada
kabar yang membahagiakan itu. “ayolah ayah, balaslah emailku” batinku.
Enam bulan telah berlalu, tak satupun
ada balasan dari ayahku. Di suatu malam yang sunyi, saat semua orang sudah
tertidur, aku sangat ingin menulis sesuatu untuk ayah. Kunyalakan komputer dan kutulis
sesuatu yang aku sangat ingin ayah segera membacanya.
Teruntuk ayahku yang sangat kurindukan
Dimanapun
ayah berada sekarang.
Semoga Allah
selalu menjaga dan melindungi ayah.
Ayah,,,
Kapanpun
ayah sempat membaca suratku ini, semoga kabar ayah baik-baik saja. Akupun disini
baik-baik saja karena ibu selalu menjaga dan merawatku dengan penuh kasih
sayang. Sudah lebih 10 tahun kita tidak bertemu. Pesan-pesanku, surat-suratku
yang kukirim lewat email juga tidak
pernah ayah balas, ayah kemana? Dimana sekarang? Aku sangat merindukanmu, aku
sudah besar yah, aku sudah kelas empat, aku sudah bisa membantu ibu, nilai
raportku juga bagus meski tidak juara kelas tapi selalu dapat 5 besar.
Pulanglah
ayah,,, sebentar lagi liburan, aku ingin bermain layang-layang denganmu, aku
ingin main sepeda bersama denganmu, aku juga ingin bermain mobil-mobilan
bersamamu seperti yang biasa dilakukan oleh teman-temanku dengan ayahnya. Aku
ingin memelukmu, mandi bersama di sungai dan mengajariku berenang. Aku sangat
merindukanmu ayah…
Ayah,,,
pulanglah… kasihan ibu yang selalu sabar menjaga dan menyayangiku, banting
tulang siang dan malam demi diriku. Mata ibu selalu berkaca-kaca setiap
memandang foto ayah. Kami sangat merindukanmu, pulanglah ayah…
Semoga
setelah ayah membaca suratku ini, ayah bisa segera pulang. Aku berdoa semoga
ayah selalu diberikan kesehatan dan umur yang panjang serta rejeki yang banyak,
sehingga bisa melihatku nanti menjadi orang sukses di dunia dan akhirat,
seperti yang selalu ibu doakan untukku, ayah doakan aku juga ya….
Aku
berjanji akan menjadi anak yang sholeh dan aku akan rajin belajar untuk dapat
membanggakan ayah dan ibu. Bila aku sukses nanti, aku akan bawa ayah dan ibu
naik haji ke Mekkah dan aku akan bahagiakan ayah dan ibu.
Satu
hal yang ayah harus tahu, aku sangat merindukanmu, pulanglah ayah,,, aku
menantimu… meskipun ayah tak pernah di dekatku tapi aku sangat mencintaimu.
Dari anakmu, Rifky.
puji saputri
puji saputri
thank you
ReplyDelete