.liputan6.static6.com |
Setiap pagi saya dan kakak laki-laki saya berangkat ke sekolah. Kami berangkat pagi-pagi agar tidak terlambat. Karena sekolah kami jauh dan kami harus berjalan kaki sejauh 10 km. Ibu tidak punya uang untuk ongkos sementara kami sangat ingin sekolah.
Ibu berencana membuat kue untuk dijual dengan meminjam uang sebagai modal kepada ibu pemilik rumah kontrakan. Mulai saat itu saya juga membantu ibu di dapur. Meski saya masih berumur tujuh tahun tapi saya sudah mandiri dan sudah bisa membantu ibu di rumah.
Setiap pagi ibu selalu menitipkan kue itu pada kami untuk di jual di kantin sekolah. Seperti biasa, ibu menitipkan 10 bungkus lapek (itu lo semacam kue yang terbuat dari pisang atau ubi kayu yang diparut lalu di dalamnya dikasi parutan kelapa dan gula jawa. Kemudian dibungkus pakai daun pisang dan dikukus hingga matang), dan 10 buah bakwan. Kue-kue itu kami titipkan ke kantin sekolah. Tapi tau nggak sampai pulang sekolah ternyata kue-kue kami tidak ada satupun yang laku. Alhasil kami tidak jajan dan terpaksa pulang dengan jalan kaki lagi.
Ibu berencana membuat kue untuk dijual dengan meminjam uang sebagai modal kepada ibu pemilik rumah kontrakan. Mulai saat itu saya juga membantu ibu di dapur. Meski saya masih berumur tujuh tahun tapi saya sudah mandiri dan sudah bisa membantu ibu di rumah.
Setiap pagi ibu selalu menitipkan kue itu pada kami untuk di jual di kantin sekolah. Seperti biasa, ibu menitipkan 10 bungkus lapek (itu lo semacam kue yang terbuat dari pisang atau ubi kayu yang diparut lalu di dalamnya dikasi parutan kelapa dan gula jawa. Kemudian dibungkus pakai daun pisang dan dikukus hingga matang), dan 10 buah bakwan. Kue-kue itu kami titipkan ke kantin sekolah. Tapi tau nggak sampai pulang sekolah ternyata kue-kue kami tidak ada satupun yang laku. Alhasil kami tidak jajan dan terpaksa pulang dengan jalan kaki lagi.
Sesampai di rumah, kami sudah letih dan haus. Melihat kue masih utuh ibu memandang kami dengan haru dan ibu memeluk kami. Saya tidak terlalu mengerti dengan arti pelukan ibu. Yang pasti saya sedih karena kue kami tidak laku dan kami tidak jajan hari ini. Saya dan kakak menangis sejadi-jadinya karena sedih dan capek. "Ibu, Kue kita nggak laku" kataku sambil sesegukan. Ibu juga menangis dan kemudian menenangkan kami "Nggak apa-apa nak, besok kita coba lagi ya" Untuk menghibur hati, akhirnya kami yang menghabiskan semua kue-kue itu.
Hari berikutnya ibu juga tetap semangat untuk membuat kuenya. Kami juga masih semangat untuk membawa kue itu ke sekolah. Tapi kali ini ibu memberi kami uang jajan dan ongkos pulang. Jaga-jaga kalau nanti kuenya tidak laku. Dan ternyata benar saja kue kami tidak laku satupun. Itu terjadi hampir seminggu. Hari ke tujuh, seperti biasa pagi itu saya dan kakak masih membawa kue bikinan ibu dan tetap akan menitipkannya ke kantin sekolah. Kami tidak patah semangat dan tidak mudah menyerah begitu saja. Saya berharap hari ini kue-kue kami laku semua. Karena ibu juga tidak putus asa dan masih semangat membuat kuenya.
Sewaktu jam istirahat, saya melihat ibu sedang duduk di teras pustaka sekolah. Sambil melihat ke arah saya, ibu melambaikan tangan dan memanggil. Saya pun berlari menuju ibu. Saya juga heran kenapa ibu datang ke sekolah? apa guru memanggilnya karena kesalahan kami?. Setelah bertanya ternyata ibu datang ke sekolah untuk memastikan apakah kue kami laku atau tidak.
Ibu menunggu kami hingga pulang sekolah. Hari itu kami pulang sangat bahagia karena kue ibu laku semua. Kata ibu, ternyata selama ini kue kami tidak pernah terjual karena ada seseorang yang curang. Orang itu juga menitipkan kue ke kantin sekolah dan karena tidak mau kuenya tersaingi oleh kue ibu yang rasanya memang sangat enak maka orang itu menyembunyikan kue kami di kolong meja. Pantas saja tidak ada yang laku.
Sejak hari itu, apapun kue yang kami bawa selalu habis terjual dan tak tersisa sedikitpun. Namun itu tak berlangsung lama karena ibu kasihan pada orang itu sebab kuenya jadi tak laku. Akhirnya ibu memutuskan untuk berhenti membuat kue.
Baca juga : * Sepenggal kisah dari kandang sapi.
* Allah menyelamatkanku dari gigitan ular.
Hari berikutnya ibu juga tetap semangat untuk membuat kuenya. Kami juga masih semangat untuk membawa kue itu ke sekolah. Tapi kali ini ibu memberi kami uang jajan dan ongkos pulang. Jaga-jaga kalau nanti kuenya tidak laku. Dan ternyata benar saja kue kami tidak laku satupun. Itu terjadi hampir seminggu. Hari ke tujuh, seperti biasa pagi itu saya dan kakak masih membawa kue bikinan ibu dan tetap akan menitipkannya ke kantin sekolah. Kami tidak patah semangat dan tidak mudah menyerah begitu saja. Saya berharap hari ini kue-kue kami laku semua. Karena ibu juga tidak putus asa dan masih semangat membuat kuenya.
Sewaktu jam istirahat, saya melihat ibu sedang duduk di teras pustaka sekolah. Sambil melihat ke arah saya, ibu melambaikan tangan dan memanggil. Saya pun berlari menuju ibu. Saya juga heran kenapa ibu datang ke sekolah? apa guru memanggilnya karena kesalahan kami?. Setelah bertanya ternyata ibu datang ke sekolah untuk memastikan apakah kue kami laku atau tidak.
Ibu menunggu kami hingga pulang sekolah. Hari itu kami pulang sangat bahagia karena kue ibu laku semua. Kata ibu, ternyata selama ini kue kami tidak pernah terjual karena ada seseorang yang curang. Orang itu juga menitipkan kue ke kantin sekolah dan karena tidak mau kuenya tersaingi oleh kue ibu yang rasanya memang sangat enak maka orang itu menyembunyikan kue kami di kolong meja. Pantas saja tidak ada yang laku.
Sejak hari itu, apapun kue yang kami bawa selalu habis terjual dan tak tersisa sedikitpun. Namun itu tak berlangsung lama karena ibu kasihan pada orang itu sebab kuenya jadi tak laku. Akhirnya ibu memutuskan untuk berhenti membuat kue.
Baca juga : * Sepenggal kisah dari kandang sapi.
* Allah menyelamatkanku dari gigitan ular.
puji saputri
Comments
Post a Comment