Beberapa tahun ini aku sangat tertarik untuk memperhatikan seorang perempuan yang tinggal tak jauh dari rumahku. Persisnya dia tinggal tepat di depan rumahku. Orangnya ramah, bersahaja, anggun, keibuan, baik dan tak banyak bicara. Wajahnya manis, penampilannya sederhana dan tetap nampak cantik meski tanpa make-up. Di usianya yang tak lagi muda dia masih terlihat cantik. Dia hidup bersama dua orang anak dan juga orangtuanya.
Dia adalah wanita yang dua kali mengalami perceraian. Perceraian pertama karena KDRT dan perceraian kedua karena perbedaan prinsip. Wanita 35 tahun itu memiliki seorang anak dari pernikahan pertama dan dua anak pada pernikahan kedua. Satu anaknya dibawa oleh mantan suaminya. Mantan suaminya tak pernah membiayai hidup anak-anaknya. Jadilah wanita itu sendiri yang berjuang untuk menyambung hidup bersama kedua orangtuanya yang mulai sakit-sakitan dengan berjualan aneka kerupuk dan rempeyek. Ayahnya terkena stroke dua tahun yang lalu. Dan ibunya vertigo yang bisa kambuh kapan saja.
Aku sangat dekat dengannya, bahkan aku mengenalnya luar dan dalam. Aku sering menemuinya ketika aku butuh seorang teman untuk bercerita. Darinya aku belajar sabar, darinya aku belajar memahami, darinya aku belajar menghargai. Aku sangat betah duduk berlama-lama dengannya, mendengar semua ceritanya, dia sangat menyenangkan dan optimisnya dalam menjalani hidup membuatku semakin kuat, tangguh dan sadar, ternyata deritaku tiada apa-apanya dibanding deritanya.
Saking akrabnya, tak jarang dia menguraikan air mata ketika mendewasakan aku. Kenapa aku katakan mendewasakanku karena dari semua pengalaman dan ceritanya itu, aku tumbuh menjadi sosok yang lebih dewasa dan matang meski pengalaman itu bukan dari pengalaman pribadiku.
Wanita itu berperang dengan batinnya dalam membesarkan anak-anaknya. Kata orang anak 'broken' itu lebih nakal dari anak yang punya orangtua lengkap. Nyatanya dia masih sanggup berdiri dan masih kuat berjalan meski menghadapi kenakalan anaknya yang semakin hari semakin menjadi. Bukan karena dia tak mendidik dengan baik tapi mungkin karena ada sebagian ruang di hati anaknya yang tak mampu dia isi meski dia sudah berusaha semaksimal mungkin yang dia mampu. Aku sering melihat dan mendengar anaknya teriak dengan keras dan membantahnya. Aku juga tahu dia sering menangis karena matanya yang sembab.
Ditambah lagi dengan orangtuanya yang sering uring-uringan karena orang bilang penderita stroke itu biasanya mengkek. Ya... bener saja aku pernah melihat Ayahnya memarahinya, melemparkan pakaian ke wajahnya. Dia hanya menunduk, tak membentak dan berlalu untuk membenahi rumah yang sudah berantakan karena amukan sang Ayah. Padahal semua pekerjaan rumah dialah yang mengerjakannya. Tapi tetap salah bagi orangtuanya.
Aku melihat guratan keletihan di wajahnya meski selalu tertutupi dengan senyum yang merekah jika aku menyapanya. Senyuman yang seolah tak memancarkan beban derita dari hidupnya. Senyuman yang sangat menenangkan hati bagi siapapun yang melihatnya dan senyuman kebahagiaan yang menurutku sangat tak mungkin bisa dimiliki oleh orang kebanyakan.
Sore ini, aku memandangnya lagi dari balik jendela kamarku. Tempat biasanya aku mengintipnya menjemur pakaian, menyapu rumah atau bermain bersama anak-anaknya. Aku melihatnya berjalan bersama balita kecilnya dengan tergesa-gesa seperti sedang terburu-buru. Aku tahu dia pasti baru saja pulang dari membantu ibunya berjualan. Dari caranya berpakaian, jilbab yang terjulur apa adanya, caranya berjalan dan caranya memandang membuatku terpesona dan cemburu. Aku ingin bisa sepertinya. Semua tampak indah dan sempurna meski dengan kesederhanaan. Aura dan inner-nya benar-benar terpancar dari hatinya. Tak perlu mahal untuk menjadi cantik dan mempesona banyak orang. Terkadang gayanya berpakaian menjadi contoh bagiku meski aku tahu tak mungkin bisa untuk menjadi seperti dirinya. Bukan karena bagusnya pakaiannya tapi karena keluwesan dan keanggunan yang dimilikinya. Sehingga mau memakai pakaian murahan sekalipun dia tetap #memesonaku. Aku tahu bukan hanya diriku yang terpesona olehnya, tapi juga banyak tetangga yang lain, hanya saja mereka kadang tak pernah mengungkapkannya.
Jika dia berjalan seorang diri dengan riasan yang agak rapi, dia sangat cantik dan #memesona. Hanya saja dia selalu merendah jika aku memuji kecantikannya. Bisa dibilang dia cukup awet muda bagi wanita seusianya. Banyak juga yang berniat meminangnya tapi dia menolak dengan halus dan lebih memilih membesarkan anak-anaknya saja. Ibunya juga menyarankannya untuk bekerja karena sayang jika pendidikan yang dimilikinya tidak disalurkan. Tapi dia menolaknya karena baginya, mengurus dan merawat orangtua adalah ibadah yang tak ternilai dibandingkan uang gaji yang dia dapatkan dari bekerja.
Lagipula dia pernah curhat ke aku di suatu sore, dia mengatakan :
"Kalau saya bekerja, siapa yang jaga anak saya, kasihan orangtua saya harus mengurus anak-anak, kasihan juga anak-anak saya yang harus saya tinggalkan seharian. Sementara mereka tak punya ayah lantas apakah harus saya tinggalkan juga"
Dia juga pernah menangis karena merindukan anaknya yang bersama mantan suaminya. Aku pernah menyuruhnya untuk menuntut hak asuh anaknya yang masih di bawah umur itu tapi katanya :
"Biarlah nggak apa-apa, toh dia kan sama ayahnya"
Duh aku yang jadi geram, terbuat dari apakah hatinya itu sehingga bisa setabah dan sesabar itu.
Ntah apa kurangnya dirinya sehingga suaminya menyia-nyiakan dirinya. Tapi jika aku boleh menilainya, dia terlalu baik, terlalu nerimo dan terlalu sabar sehingga lelaki terlalu semena-mena padanya. Mungkin itulah kelemahannya. Tapi dibalik semua itu dia sangat kuat dan tangguh. Dia begitu tulus dan ikhlas merawat orangtua dan anak-anaknya. Jika aku bertemu dengan suaminya nanti, aku pasti akan mengatakan bahwa dia telah rugi menyia-nyiakan wanita seperti itu. Betapa bodohnya lelaki itu.
Segala ketulusan, keikhlasan, kepolosan dan kesederhanaannya itu sangat menginspirasiku. Itulah arti #memesonaItu bagiku.
puji saputri
Jika dia berjalan seorang diri dengan riasan yang agak rapi, dia sangat cantik dan #memesona. Hanya saja dia selalu merendah jika aku memuji kecantikannya. Bisa dibilang dia cukup awet muda bagi wanita seusianya. Banyak juga yang berniat meminangnya tapi dia menolak dengan halus dan lebih memilih membesarkan anak-anaknya saja. Ibunya juga menyarankannya untuk bekerja karena sayang jika pendidikan yang dimilikinya tidak disalurkan. Tapi dia menolaknya karena baginya, mengurus dan merawat orangtua adalah ibadah yang tak ternilai dibandingkan uang gaji yang dia dapatkan dari bekerja.
Lagipula dia pernah curhat ke aku di suatu sore, dia mengatakan :
"Kalau saya bekerja, siapa yang jaga anak saya, kasihan orangtua saya harus mengurus anak-anak, kasihan juga anak-anak saya yang harus saya tinggalkan seharian. Sementara mereka tak punya ayah lantas apakah harus saya tinggalkan juga"
Dia juga pernah menangis karena merindukan anaknya yang bersama mantan suaminya. Aku pernah menyuruhnya untuk menuntut hak asuh anaknya yang masih di bawah umur itu tapi katanya :
"Biarlah nggak apa-apa, toh dia kan sama ayahnya"
Duh aku yang jadi geram, terbuat dari apakah hatinya itu sehingga bisa setabah dan sesabar itu.
Ntah apa kurangnya dirinya sehingga suaminya menyia-nyiakan dirinya. Tapi jika aku boleh menilainya, dia terlalu baik, terlalu nerimo dan terlalu sabar sehingga lelaki terlalu semena-mena padanya. Mungkin itulah kelemahannya. Tapi dibalik semua itu dia sangat kuat dan tangguh. Dia begitu tulus dan ikhlas merawat orangtua dan anak-anaknya. Jika aku bertemu dengan suaminya nanti, aku pasti akan mengatakan bahwa dia telah rugi menyia-nyiakan wanita seperti itu. Betapa bodohnya lelaki itu.
Segala ketulusan, keikhlasan, kepolosan dan kesederhanaannya itu sangat menginspirasiku. Itulah arti #memesonaItu bagiku.
puji saputri
Comments
Post a Comment