ummi-online.com |
Kekayaan bukanlah patokan kebahagiaan. Banyak orang yang kaya raya, berlimpah uang dan kemewahan namun masih merasa kurang dan terus mencari uang dan mengumpulkan kekayaan. Banyak juga kita melihat orang yang meskipun hidup dalam kesederhanaan namun selalu merasa cukup. Apa yang membedakannya? adalah rasa syukur.
Bagaimana caranya agar kita bisa merasa kaya meski tak punya harta?
Syukuri apa yang kita dapat, karena Allah itu mencukupkan kebutuhan, bukan mencukupkan keinginan. Karena keinginan yang tidak terkontrol itu adalah dari syetan.
Ada beberapa kisah inspiratif yang dapat kita jadikan pelajaran. Kisah ini saling bertolak belakang dengan latar belakang kehidupan yang hampir sama.
Ada dua orang buruh cuci yang tinggal di satu komplek yang sama. Katakanlah buruh cuci pertama bernama Yeni. Yeni memiliki seorang suami yang kerjanya serabutan. kadang ada kerjaan kadang menganggur. Yeni memiliki seorang anak laki-laki berumur 9 tahun dan sekarang bersekolah di sekolah dasar tak jauh dari tempat tinggalnya. Dari penghasilannya menjadi buruh cuci di beberapa rumah, Yeni mampu mengontrak sebuah rumah dengan tarif 6juta/bulan dan itu dibayarkan Rp.500.000 tiap bulannya. Menu makan keluarga Yeni juga terbilang lumayan, karena Yeni mengatakan "Di rumahku itu kalau soal makanan minimal aku harus masak ikan, karena kalau tidak, anak dan suamiku tidak mau makan. Yeni juga memiliki perabot rumah yang lengkap dan bagus. Pakaian sekolah anaknya ada lebih dari 6 stel diluar pakaian pramuka dan baju muslim. Pakaian yeni dan keluarganya juga sangat bagus dan mahal dan mereka miliki lebih dari kebutuhan karena suaminya suka mengeluh "Tak ada tempat lagi untuk menaruh baju, lemari sudah penuh, jangan beli baju lagi lah..." jawab Yeni kala itu "Kalau lemari penuh nanti kita beli lemari yang baru, lagipula kalau memakai pakaian yang itu-itu saja kan malu". Sementara setiap tahun Yeni mendapat zakat fitrah dari badan amil zakat setempat. Tiap bulan juga mendapat kupon beras raskin dari RT setempat.
Buruh cuci yang kedua katakanlah namanya Suci, dia seorang janda beranak dua, tinggal di rumah saudaranya yang kosong dan lama tak ditempati. Suci bercerai dari suaminya karena tidak tahan menerima perlakuan kasar suaminya. Perabot rumahnya adalah lungsuran dari pemberian suaminya dulu. Dari hasil jadi buruh cuci itu Suci bisa menyekolahkan anak laki-laki tertuanya yang berumur 11 tahun. Anak laki-laki keduanya masih 5 tahun dan belum sekolah. Suci juga mampu menyisihkan uang untuk ikut berkurban setiap musim haji. Kegiatan yang rutin dia lakukan sejak hidup sendiri. Penampilan Suci dan anak-anaknya sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Meski hanya makan dengan telor ceplok atau dadar setiap hari, mereka senang bukan main. Sesekali memetik sayuran dari kebun belakang rumah yang luasnya tidak seberapa. Mereka bahagia seolah tidak merasa kekurangan. Pakaian sekolah anaknya juga hanya ada 2 stel dan Suci mengatakan "Alhamdulillah masih ada satu lagi jika baju yang satu basah/kotor". Suci tidak pernah mendapat zakat ataupun beras raskin. Bukan karena dia mengharapkannya tapi karena dia merasa tidak pantas mendapatkannya. "Ada yang lebih berhak dan lebih membutuhkan daripada saya" begitu selalu yang dia katakan. Malah Suci selalu berusaha untuk memberi sedekah jika melihat pengemis. "Ada rejeki orang lain dalam harta kita, kekayaan kita bukanlah apa yang ada pada kita tapi apa yang bisa kita beri pada orang lain. Apa yang kita berikan pada orang lain itulah harta kekayaan kita yang sebenarnya" katanya pada anaknya.
Apakah cerita ini cukup menginspirasi? siapakah yang kaya sebenarnya? Yeni ataukah Suci?
puji saputri
Comments
Post a Comment