jampang.wordpress.com |
Perceraian memang masalah yang sangat serius dalam rumah tangga. Makanya kita memang harus memikirkannya dengan matang sebelum benar-benar serius untuk memutuskan bercerai. Kenapa? karena perceraian tidak hanya berdampak buruk bagi kedua individu saja tapi juga berimbas pada anak-anak dan keluarga.
Lalu bagaimana jika perceraian benar-benar harus terjadi karena tidak memungkinkan lagi untuk bersama meski sudah mencari jalan keluar yang terbaik? Ingatlah perceraian itu adalah sesuatu yang dibenci Allah meski dihalalkan. Dan ingat juga perceraian bukanlah satu-satunya solusi untuk menyelesaian permasalahan hidup, ibarat keluar dari kandang singa masuk ke kandang buaya. Maka dari itu pikirkan sekali lagi dan jangan terburu-buru untuk memutuskan kata cerai.
Bagus jika setelah bercerai tidak lagi mendapatkan masalah dan perceraian berakhir dengan sempurna. Namun jika dengan perceraian kita justru akan mendapatkan masalah demi masalah yang selalu bergantian menghampiri, ntah itu soal anak, harta gono gini atau konflik yang sengit dan terus menekan dengan tiada habisnya. Bukan kedamaian dan kebahagiaan lagi yang kita dapat tapi justru musibah. Yang akhirnya berujung pada rasa trauma yang mendalam dan tak mempercayai lagi lembaga perkawinan. Sangat miris bukan?
Berikut beberapa penyebab umum yang paling sering terjadi dalam rumah tangga hingga menyebabkan terjadinya perceraian :
1. Masalah ekonomi.
Syarat utama dalam pernikahan adalah adanya pekerjaan dan jaminan ekonomi yang cukup. Bagaimana sepasang suami istri bisa mempunyai ketenangan jika hidup dalam kekurangan dan selalu cek-cok karena tidak sabar untuk bertahan hidup dalam kurangnya ekonomi.
2. Komunikasi yang buruk.
Komunikasi yang pasif antara suami istri sering menjadi masalah dalam pernikahan, jika pasangan suami istri tidak berusaha untuk merubah komunikasi yang pasif tersebut menjadi komunikasi yang aktif dan terbuka.
3. Perbedaan.
Memang sulit untuk menyatukan dua perbedaan. Apalagi jika kedua individu tidak mampu menjadikan perbedaan sebagai hal yang mampu untuk menutupi kekurangan dan menjadikannya solusi dan saling mengisi satu sama lain. Misalnya perbedaan prinsip, ide, pemikiran, keyakinan dan status sosial dari keluarga masing-masing.
4. Tidak konsekwen dalam bertindak.
Memutuskan menikah adalah selalu tetap menjalani konsekwensi dalam rumah tangga sesuai posisinya masing-masing. Misal suami bertanggungjawab dalam hal nafkah, istri bertanggungjawab dalam hal merawat dan menjaga kehormatan keluarga dll.
5. Perselingkuhan.
Orang ketiga adalah petaka bagi sebuah rumahtangga. Suami maupun istri sama-sama tidak menginginkan jika orang yang disayangi dekat dengan orang lain. Luka yang ditimbulkan menyebabkan rasa tidak ikhlas karena dikhianati.
6. Nafkah bathin.
Nafkah bathin adalah kebutuhan yang paling pokok dalam pernikahan. Jika kepuasan seks ini tidak terpenuhi maka bisa membuat suami istri mencari objek kepuasan di luar dengan perselingkuhan dan berujung pada perceraian.
7. Kesibukan.
Suami yang terlalu sibuk atau istri yang lebih mementingkan karir dari pada keluarga, membuat suami istri tidak punya waktu untuk berkomunikasi. Apalagi jika ditambah dengan beban pekerjaan yang tak terselesaikan di kantor dan dibawa ke rumah. Pulang-pulang badan sudah capek dan langsung tidur dan tak ada lagi waktu untuk bercengkrama.
8. Kurang perhatian.
Semua orang senang diperhatikan, disayangi dan dicintai. Namun jika suami atau istri tak lagi mendapat perhatian dari pasangan karena kesibukan, bisa-bisa perceraian menghancurkan mahligai rumah tangga yang sudah dibangun dengan susah payah.
9. Sering bertengkar.
Tujuan berumah tangga tentu ingin mendapat rasa aman dan damai dari pasangannya. Namun jika dalam pernikahan itu suami istri sering bertengkar baik itu karena masalah sepele atau berat maka akan mengurangi rasa cinta dan berubah menjadi permusuhan. Apalagi jika dalam pertengkaran itu watak keduanya sangat keras dan tak sengaja terucap kata kasar yang tidak pantas, selain sakit hati dan benci, tak jarang berujung pada perceraian.
10. Curiga.
Rasa curiga bisa menimbulkan prasangka yang tidak baik, ujung-ujungnya saling menuduh dan fitnah. Rasa curiga yang tidak segera diobati akan memicu terjadi perceraian.
11. Intimidasi dan kekerasan.
Perlakuan dan perkataan yang kasar menjurus pada kekerasan. KDRT tidak hanya soal fisik tapi juga psikis. Semua manusia tentu tidak ingin diintimidasi dengan kekerasan. Apalagi bagi perempuan, dan perceraian adalah jalan terbaik daripada bertahan dalam kekerasan.
12. Masalah pola asuh anak.
Masing-masing kita punya ide dan cara sendiri untuk merawat anak-anaknya. Terkadang pertengkaran sering terjadi ketika suami dan istri tidak menemukan titik temu dalam membesarkan anak-anak. Ayah punya keinginan agar anak begini, dan istri sebagai ibu juga punya keinginan agar anaknya begitu. Intinya mana ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri. Saat pemikiran ibu dan ayah tak sejalan untuk memberi masukan atau nasehat demi kebaikan anak-anaknya, maka perceraian bisa saja terjadi.
13. Ikut campurnya pihak ketiga.
Pihak ketiga itu tidak hanya selingkuhan. Keluarga besar apakah itu orang tua, mertua atau saudara yang terlalu ikut campur dan mendominasi dalam rumah tangga kita juga termasuk pihak ketiga. Apalagi jika ada saudara suami/istri yang tidak menyukai/membenci. Maka bisa timbul hasutan dan bujukan agar pasangan membenci atau menceraikan. Karena kalau sudah benci maka dia akan berusaha membuat anak/saudaranya bercerai dengan segala cara.
Lalu apa dampak yang sering ditimbulkan oleh perceraian ini?
1. Soal keuangan.
Jika selama menikah suami memberi nafkah rutin, bisa saja setelah bercerai suami tidak lagi menafkahi. Mantan istri harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi jika mantan istri membawa hak asuh anak. Sebagai ibu tentu juga harus memikirkan kebutuhan hidup anak sementara mantan suami tak lagi memberi tunjangan.
2. Hak asuh anak.
Jika dalam persidangan perceraian, istri mendapat hak asuh anaknya atau sebaliknya. Dan salah satu suami/istri tidak terima, takut berpisah dan khawatir akan dibatasi untuk bertemu dengan anak. Meskipun di pengadilan sepakat bahwa tunjangan, waktu dan perhatian harus wajib diberikan, namun bisa saja kenyataannya menjadi berbeda.
3. Terhadap diri sendiri.
Timbul rasa sedih dan kesepian tanpa kehadiran orang yang pernah dicintai. Muncul pemikiran-pemikiran tentang bayangan kebahagiaan sewaktu masih bersama. Dan sulit untuk melupakan semua kenangan indah yang pernah dilalui dulu.
4. Dampak bagi anak.
Anak-anak yang masih di bawah umur takkan mengerti kenapa ayah dan ibunya harus tinggal terpisah dan tak pernah bertemu lagi. Yang mereka tahu, orangtuanya harus hidup bersama meski harus melihat mereka bertengkar setiap hari. Bagi anak remaja timbul pemikiran "Kenapa ayah dan ibuku bertengkar terus, apa yang mereka pertengkarkan?" Bagi anak yang dewasa "Aku bosan mendengar ayah dan ibuku bertengkar terus, tak ada kedamaian sama sekali" Akhirnya anak memilih pergi dan mencari kedamaian di luar sana. Tanpa perhatian dan kasih sayang orangtuanya, anak mendapatkan kedamaian dengan caranya sendiri. Ya, anak-anak memang selalu menjadi korban jika terjadi perceraian. Bahkan bisa menghancurkan hati anak-anak jika orangtuanya tak mampu memperlihatkan hubungan yang sehat dengan mantan suami/istri.
Inilah beberapa akibat yang terjadi pada anak jika orangtuanya bercerai.
Nah itu tadi beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum bercerai. Tapi jika perceraian menjadi jalan keluar yang terbaik, tetap pikirkan dengan matang sebelum memutuskan. Tapi bagaimana jika keadaan membuat kita harus bercerai? Jika perceraian tak lagi dapat dihindari, meski halal, perceraian adalah perkara yang dibenci Allah.
Ada sebuah kejadian di kantor pengadilan agama di kota saya, dimana salah satu pegawainya akan melangsungkan pernikahan namun dia takut karena akhir-akhir ini banyak menulis tentang kasus perceraian yang pemicunya justru pada hal-hal yang sepele. Ada yang 9 tahun pacaran dan bercerai setelah 3 bulan menikah karena suaminya maniak seks. Ada yang puluhan tahun menikah akhirnya bercerai karena perbedaan prinsip hidup.
Jika dicerna dengan logika, bagaimana mungkin tidak tahu sifat dan kepribadian pasangan sementara sudah mengenalnya sangat lama. Kalau tahu akan bercerai tentu mereka tidak akan menikah?
Ada keluarga yang hari-hari selalu bertengkar terus, tiada hari tanpa bertengkar. Meski keluarga itu tetap utuh sampai punya beberapa orang cucu tapi kenyataanya anak-anak mereka tumbuh menjadi anak yang kasar dan cucu mereka juga terdidik dengan cara yang kasar tanpa disadari. Bicara selalu dengan emosi tanpa kelembutan.
Ada keluarga yang hanya ada ibu dan anak-anaknya karena telah mengalami perceraian. Meski anak-anak itu terlihat bahagia namun pandangan/tatapan mereka berbeda dengan anak-anak yang mempunyai orang tua yang lengkap. Ada kerinduan bagi anak laki-laki untuk bisa bermain bersama ayah, dekat dengan ayah. Lebih bahaya lagi bagi anak perempuan, ada kekosongan figur seorang ayah bahkan untuk menyebut nama ayah saja lidahnya kelu. Bagi anak laki-laki yang terpisah dari ibunya karena harus ikut ayahnya setelah mengalami perceraian. Ada rasa penasaran, haus akan dekapan dan kasih sayang seorang ibu. Padahal kehadiran sosok ayah dan ibu dalam masa tumbuh kembang anak sangatlah penting. Kasih sayang, perhatian, pelukan hangat orang tua yang harusnya menjadi hak anak terenggut oleh keegoan orang tuanya sendiri. Miris sekali...
Keluarga utuh namun sering bertengkar juga tak baik bagi psikologi anak. Keluarga berpisah namun kurang kasih sayang juga tak baik bagi anak. Dua pilihan yang sama-sama tak baik untuk dipilih.
Keluarga utuh tapi anak-anaknya juga mengalami 'broken heart' seolah-olah tak punya orang tua. Semua bisa terjadi karena keegoan orang tua yang terlalu sibuk sehingga tak punya waktu untuk dekat dengan anak, tak punya waktu untuk berdiskusi, bercanda dan berkasih sayang dengan anak. Mendidik anak hanya dengan materi saja. Tak jarang anak juga mencari pelarian di luar.
Namun bagaimana orang tua dapat memberikan kebahagiaan pada anak-anaknya, jika hati orang tuanya tak bahagia? Ada yang bilang, bahagiakan dulu diri sendiri baru bisa bahagiakan anak-anak. Hmmmm ntahlah...
Pernikahan adalah kebutuhan tapi bahagia dalam pernikahan adalah pilihan. Jika memilih bertahan dalam pernikahan maka bertahanlah dengan cara yang baik dengan komunikasi dan komitmen yang kuat. Dan ketika harus bercerai maka berpisahlah dengan cara yang sehat dan baik dengan komitmen tetap memberikan semua hak anak termasuk perhatian dan kasih sayang.
puji saputri
Berikut beberapa penyebab umum yang paling sering terjadi dalam rumah tangga hingga menyebabkan terjadinya perceraian :
1. Masalah ekonomi.
Syarat utama dalam pernikahan adalah adanya pekerjaan dan jaminan ekonomi yang cukup. Bagaimana sepasang suami istri bisa mempunyai ketenangan jika hidup dalam kekurangan dan selalu cek-cok karena tidak sabar untuk bertahan hidup dalam kurangnya ekonomi.
2. Komunikasi yang buruk.
Komunikasi yang pasif antara suami istri sering menjadi masalah dalam pernikahan, jika pasangan suami istri tidak berusaha untuk merubah komunikasi yang pasif tersebut menjadi komunikasi yang aktif dan terbuka.
3. Perbedaan.
Memang sulit untuk menyatukan dua perbedaan. Apalagi jika kedua individu tidak mampu menjadikan perbedaan sebagai hal yang mampu untuk menutupi kekurangan dan menjadikannya solusi dan saling mengisi satu sama lain. Misalnya perbedaan prinsip, ide, pemikiran, keyakinan dan status sosial dari keluarga masing-masing.
4. Tidak konsekwen dalam bertindak.
Memutuskan menikah adalah selalu tetap menjalani konsekwensi dalam rumah tangga sesuai posisinya masing-masing. Misal suami bertanggungjawab dalam hal nafkah, istri bertanggungjawab dalam hal merawat dan menjaga kehormatan keluarga dll.
5. Perselingkuhan.
Orang ketiga adalah petaka bagi sebuah rumahtangga. Suami maupun istri sama-sama tidak menginginkan jika orang yang disayangi dekat dengan orang lain. Luka yang ditimbulkan menyebabkan rasa tidak ikhlas karena dikhianati.
6. Nafkah bathin.
Nafkah bathin adalah kebutuhan yang paling pokok dalam pernikahan. Jika kepuasan seks ini tidak terpenuhi maka bisa membuat suami istri mencari objek kepuasan di luar dengan perselingkuhan dan berujung pada perceraian.
7. Kesibukan.
Suami yang terlalu sibuk atau istri yang lebih mementingkan karir dari pada keluarga, membuat suami istri tidak punya waktu untuk berkomunikasi. Apalagi jika ditambah dengan beban pekerjaan yang tak terselesaikan di kantor dan dibawa ke rumah. Pulang-pulang badan sudah capek dan langsung tidur dan tak ada lagi waktu untuk bercengkrama.
8. Kurang perhatian.
Semua orang senang diperhatikan, disayangi dan dicintai. Namun jika suami atau istri tak lagi mendapat perhatian dari pasangan karena kesibukan, bisa-bisa perceraian menghancurkan mahligai rumah tangga yang sudah dibangun dengan susah payah.
9. Sering bertengkar.
Tujuan berumah tangga tentu ingin mendapat rasa aman dan damai dari pasangannya. Namun jika dalam pernikahan itu suami istri sering bertengkar baik itu karena masalah sepele atau berat maka akan mengurangi rasa cinta dan berubah menjadi permusuhan. Apalagi jika dalam pertengkaran itu watak keduanya sangat keras dan tak sengaja terucap kata kasar yang tidak pantas, selain sakit hati dan benci, tak jarang berujung pada perceraian.
10. Curiga.
Rasa curiga bisa menimbulkan prasangka yang tidak baik, ujung-ujungnya saling menuduh dan fitnah. Rasa curiga yang tidak segera diobati akan memicu terjadi perceraian.
11. Intimidasi dan kekerasan.
Perlakuan dan perkataan yang kasar menjurus pada kekerasan. KDRT tidak hanya soal fisik tapi juga psikis. Semua manusia tentu tidak ingin diintimidasi dengan kekerasan. Apalagi bagi perempuan, dan perceraian adalah jalan terbaik daripada bertahan dalam kekerasan.
12. Masalah pola asuh anak.
Masing-masing kita punya ide dan cara sendiri untuk merawat anak-anaknya. Terkadang pertengkaran sering terjadi ketika suami dan istri tidak menemukan titik temu dalam membesarkan anak-anak. Ayah punya keinginan agar anak begini, dan istri sebagai ibu juga punya keinginan agar anaknya begitu. Intinya mana ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri. Saat pemikiran ibu dan ayah tak sejalan untuk memberi masukan atau nasehat demi kebaikan anak-anaknya, maka perceraian bisa saja terjadi.
13. Ikut campurnya pihak ketiga.
Pihak ketiga itu tidak hanya selingkuhan. Keluarga besar apakah itu orang tua, mertua atau saudara yang terlalu ikut campur dan mendominasi dalam rumah tangga kita juga termasuk pihak ketiga. Apalagi jika ada saudara suami/istri yang tidak menyukai/membenci. Maka bisa timbul hasutan dan bujukan agar pasangan membenci atau menceraikan. Karena kalau sudah benci maka dia akan berusaha membuat anak/saudaranya bercerai dengan segala cara.
Lalu apa dampak yang sering ditimbulkan oleh perceraian ini?
1. Soal keuangan.
Jika selama menikah suami memberi nafkah rutin, bisa saja setelah bercerai suami tidak lagi menafkahi. Mantan istri harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi jika mantan istri membawa hak asuh anak. Sebagai ibu tentu juga harus memikirkan kebutuhan hidup anak sementara mantan suami tak lagi memberi tunjangan.
2. Hak asuh anak.
Jika dalam persidangan perceraian, istri mendapat hak asuh anaknya atau sebaliknya. Dan salah satu suami/istri tidak terima, takut berpisah dan khawatir akan dibatasi untuk bertemu dengan anak. Meskipun di pengadilan sepakat bahwa tunjangan, waktu dan perhatian harus wajib diberikan, namun bisa saja kenyataannya menjadi berbeda.
3. Terhadap diri sendiri.
Timbul rasa sedih dan kesepian tanpa kehadiran orang yang pernah dicintai. Muncul pemikiran-pemikiran tentang bayangan kebahagiaan sewaktu masih bersama. Dan sulit untuk melupakan semua kenangan indah yang pernah dilalui dulu.
4. Dampak bagi anak.
Anak-anak yang masih di bawah umur takkan mengerti kenapa ayah dan ibunya harus tinggal terpisah dan tak pernah bertemu lagi. Yang mereka tahu, orangtuanya harus hidup bersama meski harus melihat mereka bertengkar setiap hari. Bagi anak remaja timbul pemikiran "Kenapa ayah dan ibuku bertengkar terus, apa yang mereka pertengkarkan?" Bagi anak yang dewasa "Aku bosan mendengar ayah dan ibuku bertengkar terus, tak ada kedamaian sama sekali" Akhirnya anak memilih pergi dan mencari kedamaian di luar sana. Tanpa perhatian dan kasih sayang orangtuanya, anak mendapatkan kedamaian dengan caranya sendiri. Ya, anak-anak memang selalu menjadi korban jika terjadi perceraian. Bahkan bisa menghancurkan hati anak-anak jika orangtuanya tak mampu memperlihatkan hubungan yang sehat dengan mantan suami/istri.
Inilah beberapa akibat yang terjadi pada anak jika orangtuanya bercerai.
- Psikologis anak jadi tertekan.
- Merasa minder dan kurang percaya diri.
- Berprilaku kasar.
- Jarang pulang ke rumah.
- Terlibat pergaulan bebas.
- Terlibat narkoba.
- Kehidupan anak kacau karena kurangnya perhatian dan kasih sayang.
- Trauma berkepanjangan.
- Bertindak Asusila (di luar batas).
Nah itu tadi beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum bercerai. Tapi jika perceraian menjadi jalan keluar yang terbaik, tetap pikirkan dengan matang sebelum memutuskan. Tapi bagaimana jika keadaan membuat kita harus bercerai? Jika perceraian tak lagi dapat dihindari, meski halal, perceraian adalah perkara yang dibenci Allah.
Ada sebuah kejadian di kantor pengadilan agama di kota saya, dimana salah satu pegawainya akan melangsungkan pernikahan namun dia takut karena akhir-akhir ini banyak menulis tentang kasus perceraian yang pemicunya justru pada hal-hal yang sepele. Ada yang 9 tahun pacaran dan bercerai setelah 3 bulan menikah karena suaminya maniak seks. Ada yang puluhan tahun menikah akhirnya bercerai karena perbedaan prinsip hidup.
Jika dicerna dengan logika, bagaimana mungkin tidak tahu sifat dan kepribadian pasangan sementara sudah mengenalnya sangat lama. Kalau tahu akan bercerai tentu mereka tidak akan menikah?
Ada keluarga yang hari-hari selalu bertengkar terus, tiada hari tanpa bertengkar. Meski keluarga itu tetap utuh sampai punya beberapa orang cucu tapi kenyataanya anak-anak mereka tumbuh menjadi anak yang kasar dan cucu mereka juga terdidik dengan cara yang kasar tanpa disadari. Bicara selalu dengan emosi tanpa kelembutan.
Ada keluarga yang hanya ada ibu dan anak-anaknya karena telah mengalami perceraian. Meski anak-anak itu terlihat bahagia namun pandangan/tatapan mereka berbeda dengan anak-anak yang mempunyai orang tua yang lengkap. Ada kerinduan bagi anak laki-laki untuk bisa bermain bersama ayah, dekat dengan ayah. Lebih bahaya lagi bagi anak perempuan, ada kekosongan figur seorang ayah bahkan untuk menyebut nama ayah saja lidahnya kelu. Bagi anak laki-laki yang terpisah dari ibunya karena harus ikut ayahnya setelah mengalami perceraian. Ada rasa penasaran, haus akan dekapan dan kasih sayang seorang ibu. Padahal kehadiran sosok ayah dan ibu dalam masa tumbuh kembang anak sangatlah penting. Kasih sayang, perhatian, pelukan hangat orang tua yang harusnya menjadi hak anak terenggut oleh keegoan orang tuanya sendiri. Miris sekali...
Keluarga utuh namun sering bertengkar juga tak baik bagi psikologi anak. Keluarga berpisah namun kurang kasih sayang juga tak baik bagi anak. Dua pilihan yang sama-sama tak baik untuk dipilih.
Keluarga utuh tapi anak-anaknya juga mengalami 'broken heart' seolah-olah tak punya orang tua. Semua bisa terjadi karena keegoan orang tua yang terlalu sibuk sehingga tak punya waktu untuk dekat dengan anak, tak punya waktu untuk berdiskusi, bercanda dan berkasih sayang dengan anak. Mendidik anak hanya dengan materi saja. Tak jarang anak juga mencari pelarian di luar.
Namun bagaimana orang tua dapat memberikan kebahagiaan pada anak-anaknya, jika hati orang tuanya tak bahagia? Ada yang bilang, bahagiakan dulu diri sendiri baru bisa bahagiakan anak-anak. Hmmmm ntahlah...
Pernikahan adalah kebutuhan tapi bahagia dalam pernikahan adalah pilihan. Jika memilih bertahan dalam pernikahan maka bertahanlah dengan cara yang baik dengan komunikasi dan komitmen yang kuat. Dan ketika harus bercerai maka berpisahlah dengan cara yang sehat dan baik dengan komitmen tetap memberikan semua hak anak termasuk perhatian dan kasih sayang.
puji saputri
Serem juga ya mak dampak perceraian, seMoga dijauhkan, amiin
ReplyDeleteAamiin mak, jauh-jauh deh dari yang namanya perceraian. :)
DeleteKomunikasi n komitmen yg utama bwt jalanin biduk RT yg samara 😁
ReplyDeleteyups mak, betul banget... :)
Deletekomunikasi dan komitmen untuk setia..itu wajib menurut aku..
ReplyDeleteitu point yang paling penting mak,,, :)
DeleteSemoga nggak pernah mengalami, Aamiin. Thanks for sharing Mba'.. :)
ReplyDeleteAamiin... makasi kembali mbak ;)
DeleteSemoga dijauhkan dr masalah ini.. Saya mikirnya kasihan anak2. Mrk yang bakalan jd korban juga kan..
ReplyDeleteAamiin mbak, anak-anak yang tak tahu apa-apa justru jadi korbannya, kasihan...
DeleteIya yang jadi korban memang anak-anak...semoga dijauhkan dari hal ini :)
ReplyDeleteAamiin, semoga dijauhkan ya mbk, kasihan anak-anak
DeleteSemoga dalam ikatan pernikahan selalu saling menjaga sehingga tak terjadi perceraian ya mba
ReplyDeleteIya mbak, komitmen yang kuat dan komunikasi dua arah yang baik sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Semoga kita semua dijauhkan dari segala kemungkinan terburuk. :)
DeleteCerai itu halal menurut islam tapi, hal iti yang paling di benci oleh allah swt
ReplyDeleteSemua masalah dapat di selesaikan dengan cara yang baik baik. Karena allah tidak pernah memberi cobaan kepada hambanya melebihi batas kemampuannya
iya, semoga dijauhkan dari hal-hal yang dibenci Allah ya mas,,, :) makasi...
Delete